www.smkn1robatal.sch.id – Blog. Saya punya teman bernama Sobirin. Ia rajin salat Subuh ke masjid, walaupun mukanya tiap kali seperti habis kalah main Mobile Legend semalaman. Tapi dia Pejuang Subuh sejati, katanya. Saya tanya kenapa mukanya kelihatan capek terus. Jawabnya enteng: “Lawan utama salat Subuh itu bukan kantuk, bro, tapi iman yang ogah diajak bangun pagi.”
Sobirin ini unik. Dompetnya tipis, tapi hatinya lebih tipis lagi kalau soal bersyukur. Suatu hari, dia meratap karena gajinya belum naik-naik juga padahal sudah bekerja tiga tahun lebih di tempat yang sama. “Padahal aku udah sabar, lho,” katanya sambil menyeruput kopi sachet yang dicampur air galon tetangga. Saya ingin tertawa, tapi takut dia malah curhat lebih panjang.
Saya lalu bilang, “Sob, masalahnya bukan pada gaji yang belum naik. Mungkin sabarmu yang turun.” Dia meringis. Saya pikir ini saatnya menyisipkan ayat—modal standar para da’i setengah jadi macam saya ini. Maka saya kutip pelan-pelan, dengan suara lirih seperti ustaz habis ditolak proposal ceramah, “Kuluu min thayyibaati maa razaqnaakum wasykuruu lillaahi in kuntum iyyaahu ta’buduun.” (QS Al-Baqarah: 172). Saya menambahkan, “Lihat tuh, Allah sudah ngasih rezeki, tinggal kitanya yang suka bandingin nasi padang kita dengan wagyu influencer.”
Sobirin manggut-manggut, tapi saya tahu itu bukan tanda pencerahan. Itu tanda dia mulai ngantuk.
Fenomena kurang bersyukur ini seperti penyakit menahun di kalangan umat yang sudah terlalu banyak ngopi, tapi minim tafakur. Kita sering merasa dunia ini sempit. Padahal dunia tidak sempit—yang sempit itu dada kita yang enggan menerima kenyataan bahwa kadang yang diturunkan Allah bukan mobil baru, tapi motor second hasil doa yang agak burem fokusnya.
Kita juga kerap iri melihat orang lain yang kerjaannya keliling dunia sambil senyum di Instagram. Lalu kita mengeluh, “Kenapa hidup gue gini-gini aja?” Padahal jawaban sederhananya: karena engkau terlalu sibuk menghitung yang belum ada, sampai lupa mengucap Alhamdulillah untuk yang sudah dikasih.
Maka benarlah, sejatinya bukan dunia yang sempit, tapi hati yang kerap ngambek. Sejatinya bukan dompet yang kurang isi, tapi sabar yang belum di-top up. Sejatinya bukan jabatan yang kurang tinggi, tapi syukur yang sering lupa login.
Saya teringat satu waktu, saya hanya punya uang Rp12.000, tapi warteg dekat rumah sedang diskon. Nasi, telur, dan sayur ludes masuk piring. Saya makan dengan lahap. Rasanya, nikmatnya melebihi buffet hotel bintang lima. Kenapa? Karena hari itu saya benar-benar merasa cukup.
Seperti firman-Nya, “Fadzkurunii adzkurkum wasykuruu lii walaa takfuruun” (QS Al-Baqarah: 152). Ingatlah Allah, niscaya Allah ingat kita. Bersyukurlah, jangan kufur. Bahasa gampangnya: lo inget Gue, Gue inget lo.
Maka marilah, di tengah tagihan listrik, cicilan motor, dan notifikasi Shopee PayLater, kita belajar bersyukur. Sebab kalau kita tidak belajar bersyukur atas nasi dan tempe hari ini, percayalah, esok pun saat kita makan salmon, hati kita tetap akan merasa kurang.
Dan Sobirin? Dia sekarang sudah naik jabatan. Tapi tetap mukanya seperti kalah main ML. Katanya, “Gue masih belajar bersyukur, bro.” Saya bilang, “Sama. Tapi minimal sekarang lo bisa traktir kopi, kan?”
Kita tertawa. Mungkin di situlah letak syukur yang sederhana: bisa tertawa bareng, walau gaji belum naik dan kopi masih sachet.
Tinggalkan Komentar