• S e l a m a t     D a t a n g     D i     W e b s i t e     S M K    N E G E R I    1    R O B A T A L    S A M P A N G
Bila Kekuasaan Memasung Agama

Bila Kekuasaan Memasung Agama

Agama mengangkat manusia dari kehidupan tak beraturan menjadi makhluk yang bermartabat. Tapi bagaimana jadinya bila agama dipasung oleh kekuasaan sebagai legitimasi dan justifikasi prilaku brutal segelintir manusia, akankah kita akan terjebak olehnya ?

Agama adalah penuntun hidup manusia. Baik dalam interaksi sesama manusia maupun dengan tuhan pencipta manusia. Sebagai konskuensi logis dalam beragama. Keresahaan emosional beragama mulai muncul manakala manusia berfikir bahwa agamanya paling benar dan berpersepsi agamanya menyimpan pesan/misi kemanusian yang paling sesuai fitrah manusia. Dengan mengharuskan pemeluk agama lain harus mengikuti agama yang dianutnya, kalau tidak akan dibasmi/dibunuh atau diusir. Itu perasaan orang yang beragama tapi tidak paham akan agama.

Pemahaman kerdil terbelit nafsu lahiriah kemanusian akan berdampak negatif terhadap hubungan beragama. Ditambah intervensi kekuasaan mencengkram kehidupan beragama. Membuat kebebasan beragama makin suram. Kehidupan beragama tidak menentu. Agama hanya sebagai tameng untuk memuaskan hawa nafsu.

Menurut Zuly Qodir dalam bukunya Agama dalam bayang-bayang kekuasaan (2001) terdapat 3 klasifikasi pemikiran mendasar tentang eksistensi kehidupan beragama pada diri manusia. Pertama, Wacana pluralisme dan dialog antar agama. Wacana keagamaan tersebut meliputi wacana keagamaan awam dan wacana keagamaan elit. Wacana keagamaan awam bersifat cultural dan sinkretis bercirikan keterbukaan, inklusif, dan mentradisi. Wacana keagamaan elit sebagai konstruksi lembaga yang memiliki otoritas terhadap diskursus agama dalam suatu Negara. Wacana keagamaan, diperlukan iklim keagamaan yang terbuka, tanpa kekerasan, saling menyadari adanya pluralisme (agama, suku, bahasa, dll) serta kesadaran berdialog antar umat beragama. Sehingga kejadian kasus Ambon tak akan berulang lagi. Paham agama dan teologis yang berbeda tapi kebersamaan tetap dikedepankan.

Janganlah doktrin mayoritas-minoritas menjadi hambatan dalam hidup beragama. Boleh jadi mayoritas dalam agama tapi minoritas dalam ekonomi, pengetahun dan sebaliknya. Pihak mayoritas hendaknya melindungi minoritas dan pihak minoritas menghargai eksistensi kaum mayoritas. Kita berharap semangat kegotong royongan serta perdamaian menjadi realitas sosial bukan kenangan masa lampau. Dan peran pemerintah sangat diperlukan.

Kedua : Bahasa agama dalam bingkai tradisi kritik. Kehadiran agama bagi manusia ibarat pelita ditengah malam. Sangat dibutuhkan dan penting. Lentera pelipur lara, penyejuk saat dahaga dating dan penghibur kala hati gundah. Keberagaman beragama menjadikan pemeluknya memilili karakteristik pemahaman yang hiterogen. Jadi selayaknya menghargai antar pemeluk agama menjadi keniscayaan bagi insan beragama.

Prediksi Anwar Ibrahim tentang kebangkitan Asia (Asia Renaissance) memberikan secercah harapan baru bagi kebangkitan peradaban di Asia khususnya di Asia Tenggara. Anwar Ibrahim menyatakan Asia Renaissance berakar pada budaya genuine keasiatenggaraan dengan berkaca pada agama-agama (Islam, Kristen, Confusianisme) tidak semata-mata berpijak pada rasionalitas.

Rekonstruksi kemanusiaan membawa sejarah hitam. Sejarah mencatat perang agama Islam-Kristen abad ke-13/14 dengan dalih agama padahal mempertahankan kekuasaannya. Namun di era millennium baru kita harus menatap ke depan. Serta mengkaji kembali peran agama dalam kehidupan dan menjauhi sikap marginalisasi dan sekularisasi agama.

Ketiga : Agama dan Kekuasaan Politik. Hal ini saling berkaitan disebabkan agama memiliki otoritas pembenaran terhadap problematika sosial yang kadang terseret pada persoalan-persoalan kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya. Persoalan muncul ketika agama mengalami deskralisasi, privatisasi dan kontaminiasi oleh kekuasaan yang ada akhirnya akan dimanfaatkan atau digunakan secara akut oleh penguasa. Agama akhirnya tercerabut dari akar sakralitasnya. Yang tinggal hanyalah kulit luar agama yang sangat profan, marginal dan domestic. Ironi sekali.

Banyak kejadian memilukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan intervensi kekuasaan dalam keagamaan. Agama jadi tameng kekuasaan. Menghancurkan tatanan kemanusiaan. Penguasaan kehidupan beragama sangat menonjol dengan dibentuknya lembaga-lembaga agama—MUI, PGI, KWI, Parisada, dan Walubi. Menjadikan agama sebagai kontrol dalam kekuasaan berarti memposisikan agama sebagai chek dan balance selain juga sebagai peransang (elective affinity) kekuasaan itu sendiri.

Campur tangan kekuasaan terhadap keagama membuat institusi suci ini menjadi terpasung dalam segala ruang geraknya. Label yang diberikan kepada gerakan-gerakan moralitas kadang-kadang kontradiktif dengan realitas gerakan itu. Label ekstrim kekiri-kirian (PKI, OTB dan gerakan kiri lainnya) atau ekstrim kanan (fundamentalis Islam) merupakan bukti nyata intervensi kekuasaan. Jargon subversib menjadi senjata paling ampuh memberangus gerakan moralitas tersebut. Walaupun terkadang orientasi gerakan moral dalam segala bentuknya melenceng dari rel agama. Keterpasungan agama diera ORLA dan ORBA menjadi catatan merah pada masa tersebut. Bagaimana diera reformasi ini? Wallahu a’lam.

 

 

 

Klik Icon Di Bawah Untuk Membagikan Artikel
: 489 Post Views

TINGGALKAN KOMENTAR